90 Menit Bersama Gus Dur: "Sumbangan Agama-Agama dalam Menopang Transformasi Sosial, Ekonomi dan Politik Indonesia" - GusDur.Net (2024)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Moderator:

Dr. Pradjarto Dirjosanjoto, SH., MA

Penanya:

  1. Mangku Trisno (Purworejo)
  2. Pdt. Sri Handoko (Semarang)
  3. Dewi Mariam (Salatiga)
  4. Judo Poerwowidagdo (Yogyakarta)
  5. Samuel Suharto (Yogyakarta)

Dr. Pradjarto Dirjosanjoto, S.H., M.A. (Moderator)

Yang kami hormati, Bpk. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, yang dalam telinga dan hati kami lebih akrab dengan sebutan Gus Dur. Yang terhormat Ibu Nuriah Abdurrahman Wahid. Yang kami hormati Bapak menteri dalam negeri, Bapak Gubernur dan Ibu serta hadırın sekalian.

Selain sebagai Presiden RI ke-empat kita juga mengenal Gus Dur sebagai seorang budayawan, humoris, pejuang reformasi, demokrasi dan rekonsiliasi, dan seorang pemikir dan pemimpin yang berusaha mengembangkan wacana-wacana baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks upaya mengembangkan wacana-wacana baru ini, sebagai konsekuensi yang sesungguhnya wajar-wajar saja, ide-ide baru, yang segar, seringkali terasa “nyleneh”, “nganeh-anehi”, bahkan sulit dimengerti secara segera.

Dialog langsung dengan Gus Dur siang ini menjadi sangat berarti, bukan saja karena kita dapat secara langsung mendengar sebagian dari ide-ide beliau, khususnya yang menyangkut “Sumbangan Agama-agama dalam menopang Transformasi Sosial Ekonomi, dan Politik di Indonesia” sesuai dengan tema seminar ini, namun kita juga berkesempatan untuk memberikan umpan balik dan masukan-masukan konkrit dari lapangan. Dengan demikian proses pembentukan wacana baru dapat terjadi secara demokratis dan dialogis; sesuatu yang saya yakin juga dikehendaki oleh Gus Dur.

Sebelum saya mempersilahkan Gus Dur menyampaikan pokok-pokok pikirannya mengenai tema “Sumbangan Agama-agama dalam menopang Transformasi Sosial, Ekonomi dan Politik di Indonesia”, panita ingin menyampaikan secara amat singkat beberapa pokok penting hasil diskusi panel pagi ini yang mudah-mudahan dapat menjadi input bagi dialog kita dengan Gus Dur. Saya persilahkan pak 1 Made Samiana menyampaikan laporannya.

I Made Samiana (Ketua Panitia):

Saya ingin melaporkan diskusi panel yang sudah terselenggara pada sesi pertama tadi. Para panelis terdiri dari Dr. TH. Sumartana dari Interfidei, Mgr. Dr. Ign. Suharyo, Pr. Uskup Agung Semarang, Dr. Machasın dari IAIN Yogyakarta serta Bhiku Sri Pannyavaro Mahatera dari Magelang. Tentu, mereka semua telah Gus Dur kenal. Mereka telah mendiskusikan pokok-pokok “Meneguhkan Kerja Sama Antar-umat Beragama, Membangun Masyarakat Indonesia Baru.” Melalui diskusi tersebut, berbagai persoalan dari yang konkret di dalam kehidupan sehari-hari sampai persoalan doktriner yang abstrak– sudah mulai didiskusikan. Ijinkan saya memberikan laporan singkat tentang hasil-hasil seminar yang sudah dilakukan pada sesi pertama.

Yang pertama, masyarakat kita berada di dalam kondisi sakit: komunalisme dan kekerasan, kemiskinan dan luka-luka batin.

Yang kedua, akar dan dampak dari kenyataan ini muncul dalam berbagai tataran, antara lain: kesempitan keberagamaan, klaim kebenaran pada agama sendiri, moralitas yang tidak terwujud di dalam tindakan, luka-luka batin yang dikembangkan menjadi identitas kolektif dan selanjutnya dijadikan politik identitas yang bercorak balas dendam.

Yang ketiga, upaya-upaya transformatif yang dibutuhkan: karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan bersama maka perlu pula disepakati cara pengatasan secara bersama pula mengupayakan dan mengembangkan terwujudnya kebaikan bersama, membangun kesadaran bahwa kebenaran itu tidak mutlak hanya dimiliki oleh agama sendiri.

Yang keempat, rekomendasi memelihara kelanjutan dan mengembangkan dialog baik pada tataran teologis maupun praksis pada berbagai tataran dan strata sosial yang berbeda; mengupayakan penghormatan terhadap martabat manusia, solidaritas, ketulusan, kesejajaran, kejujuran dan cinta kasih dan hidup sehat: belajar dari orang dan agama lain serta tenggang rasa guna melawan berbagai budaya anti kebaikan umum.

Bapak presiden yang saya hormati.

Kini, kami telah siap untuk melanjutkan diskusi itu dalam dialog langsung dengan Gus Dur. Meski waktu yang tersedia menurut hemat kami sangat singkat, namun dengan menggunakan waktu itu sebaik-baiknya kami berharap dapat dihasilkan sesuatu yang sangat berharga bagi upaya meningkatkan sumbangan agama-agama dalam menopang transformasi sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Saya berharap Pak Pradjarta akan bertindak sebagai moderator–kebetulan sebagai ketua steering committe seminar ini — akan dapat mengatur waktu dialog secara efisien.

Akhirnya, atas nama semua peserta seminar, sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan bapak presiden memenuhi undangan kami. Terima kasih.

*****

KH. Abdurahman Wahid (Presiden RI):

Assalamualaikum Wr. Wb. Bapak menteri, bapak gubernur dan anggota Muspida tingkat I, bapak walikota dan anggota Muspida tingkat II. para bapak-bapak, ibu-ibu, para undangan dan para hadirin.

Saya merasa berbahagia berada di sini, karena berada di tengah-tengah orang yang benar-benar memahami keimanan. Memahami keimanan dalam arti, apa pun profesi atau jabatan yang dipegang. bapak-bapak dan ibu-ibu adalah orang-orang yang benar-benar menunjukkan pengetian mendalam mengenai masalah-masalah bersama.

Persoalan bersama tidak lebih dari apa yang harus kita lakukan. yaitu mencarikan pemecahan-pemecahan. Jadi, dengan kata lain, setelah dialog itu haruslah ada hal konkret yang dikerjakan. Kalau dialog hanya sekadar dialog saja, itu hanya refleksi yang tidak menuju kepada kebaikan apa pun. Walaupun refleksi itu perlu, tapi saya rasa. dalam forum ini yang dimaksudkan tentu bukan sekadar itu. Melainkan, sebuah upaya merumuskan apa yang menjadi tugas kita untuk dilakukan dan bagaimana melakukannya.

Kalau ini yang menjadi pegangan kita atau pola kita, maka berarti kita harus mengenal masalah-masalah masyarakat. kemudian mengenal agama-agama yang ada di masyarakat itu supaya dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Ini menjadi sangat penting. Kita terkadang bingung mengenai masalah yang sebenarnya. Sebagai contoh, komentar seorang pakar ilmu politik dari LIPI. kalau tidak salah di harian Kompas. Beliau mengatakan. “Hendaknya presiden jangan diberi hak prerogatif. Saya jadi bingung. Kalau presiden tidak punya hak prerogatif, lalu untuk membentuk kabinet itu dasarnya apa?, Karena kabinet dibentuk atas dasar hak prerogatif presiden. Kalau tidak demikian. nanti setiap orang boleh membentuk kabinetnya sendiri-sendiri. Ini sangat berbahaya untuk negeri kita. Bayangkan, kalau Pak Doktor Profesor saja seperti itu, bagaimana orang awam?

Jadi itu yang saya katakan tadi, bahwa kadang-kadang kita tidak tahu persoalan kita itu apa. Karena itu asal bunyi saja. Sebagai akibatnya, ini bukan pendidikan yang baik bagi rakyat kita, melainkan– saya bilang– sebagai penyesatan. Yang begini sehari-hari kita baca di media massa kita. Semua orang yang setengah matang. lewat euforia masa kini, berbicara asal bicara saja. Kalau tidak bicara. katanya tidak gagah. Dalam suasana seperti itulah Anda-Anda semua ini berdiskusi. Tapi, arahnya untuk mencapai hal-hal apa yang harus diketahui sebagai problem bersama. Ini membuat saya berbahagia di sini. Saya yakin bahwa dari sikap yang dijalankan itu, kita akan mampu meneropong masalah-masalah masyarakat kita. Berdasarkan itu, lalu dilakukan pemecahan-pemecahan masalah.

Pertanyaan yang benar sudah merupakan separuh dari jawaban. Pertanyaan yang keliru pernah ditanyakan oleh RCTI atau apa, saya lupa, kepada Kiai Hamid Jakung. “Bagaimana kiai, dengan dua batang bambu–yang masing-masing hanya satu meter–kok bisa tahu bulan ada atau tidak? Sedangkan orang lain, menggunakan teropong yang canggih, kok tidak bisa lihat bulan? Jawab kiai, “Walaupun pakai teropong. tapi kalau tidak diarahkan tepat ke arahnya, ya tidak bisa.” Jadi, rupanya kiai ini penganut paham bahwa pencarian jawaban sangat ditentukan oleh kemampuan menerapkan pertanyaan-pertanyaan yang benar. Itulah yang terjadi pada forum kali ini.

Kadang-kadang kita lupa bahwa masalah-masalah masyarakat itu begitu besar dan begitu banyak, sehingga tidak dapat disederhanakan oleh siapa pun. Tapi, terkadang juga masyarakat yang besar, masyarakat yang banyak, masalahnya besar. Jika demikian, masalahnya harus disederhanakan untuk memudahkan pencarian jawaban. Kemampuan untuk mengenal masalah, mana yang perlu dilanjutkan dan mana yang perlu disimpan, itulah inti dari dialog-dialog.

Saya ingat pada pertemuan dengan Presiden Jacques Chiraq dari Prancis. Saya katakan kepada beliau bahwa saya setuju dengan Prof. Dr. Mukti Ali, tentang perlunya ada dialog. Tapi, saya tidak setuju contohnya. Persoalannya adalah begini. Agama-agama berdialog, saya setuju. Untuk berdialog, kita harus mengetahui prinsip-prinsip mana yang berlaku untuk semua agama, yang sifatnya universal. Tidak perlu kita mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada. Itu saya setuju. Tapi beliau (Prof. Dr. Mukti Ali-ed)) meneruskan, “Sebagai contoh, bahwa gelas yang berbeda-beda bisa diisi dengan anggur yang sama. Ini menunjukkan bahwa dia tidak kenal anggur. Ya maklum Pak, dia kan kiai. Dia tidak tahu, kalau gelasnya lain, ya anggurnya lain. Dia (Presiden Jacques Chiraq-ed) tertawa. “Ya, saya orang Prancis. saya tahu itu”.

Satu hal yang sangat penting dalam dialog seperti ini adalah keinginan saling mengerti dan memahami. Prinsip-prinsip yang umum atau universal itu kalau tidak disertai dengan sifat menerima, tidak mungkin. Yang terjadi sekarang, banyak sekali orang menekankan perbedaan-perbedaan, terutama di kalangan Islam. Biasanya sandarannya peraturan. Tapi tidak ada semangat untuk memahami orang lain, walaupun dia mengerti.

Langganan saya itu orang-orang dari Bekasi. Gereja-gereja di Bekasi. Terutama yang paling rajin itu orang Batak. Dia datang dan mengadukan nasib. “Kami oleh pemerintah tidak diperbolehkan ke daerah-daerah. Tidak boleh mendirikan rumah peribadatan.” Jelas. si pejabat itu tidak mempunyai semangat untuk menghargai orang. Walaupun dia mengerti, tapi semangat atau keinginan untuk memahami orang lain itu tidak ada. Maka, dicarilah perbedaannya.

Saya jawab waktu itu. “Sampean kok dilarang bikin tempat peribadatan. Sedangkan masjid-masjid segitu banyak itu, kan tidak ada surat ijinnya semua. Paling ya satu dua lah yang punya. Di kampung-kampung, ratusan masjid itu tidak ada yang punya surat ijin”.

Tidak tepat menerapkan sesuatu secara organisatoris kepada satu pihak, dan pihak yang lain dilupakan. Ini kan tidak benar. Ini karena agama dicampur dengan ambisi pribadi. Ambisi pribadi ini pun disetir oleh kepentingan atau kesalahpengertian. Salah mengerti bahwa agama itu harus cross dengan orang lain. Pemahaman seperti inilah yang menghantui kita sampai saat ini dan belum selesai. Mudah-mudahan dalam masa beberapa lama ini bisa dituntaskan semuanya. Artinya, kalau pakai peraturan. perijinan dan sebagainya, ya semua. Kalau tidak, ya tidak semua. Jadi supaya sama-samalah.

Hal lainnya yang patut dijaga adalah bahwa kita ini harus memahami dan menghargai orang lain. Mengapa demikian? Karena kita diperintahkan oleh Tuhan kita masing-masing. Saya sebagai orang Islam percaya kepada Alquran. Alquran mengatakan: telah kuciptakan kalian wanita dan pria.

Dulu saya pernah rapat di rumahnya Mbak Tuti Herati. Saya satu-satunya laki-laki, yang lainnya perempuan semua. Ya sudah. Biasalah. mereka–saya tidak tahu, apakah karena kurang kerjaan– dari pagi sampai jam satu tidak putus-putus berdebat. “Organisasi ini apa namanya, wanita atau perempuan?” Kalau empu itu katanya dipengaruhi orang. Empu itu biasanya laki-laki. Kalau wanita dari bahasa Sansekerta, artinya wanita penghibur. Selesai makan siang–di atas jam dua–saya disuruh ngomong. Saya katakan, kalau tidak mau perempuan atau wanita, ada satu istilah lagi: betina saja! Tujuan saya tercapai. Langsung semua marah dan pertemuan itu dibubarkan. Saya nggak tahu sampai sekarang sudah terbentuk atau belum.

Jadi, kita harus saling menghargai. Penghargaan itu dimulai dengan kesadaran yang saya katakan tadi. Kalau saya, orang Islam. menurut Al-Qur’an adalah kita diciptakan lelaki dan perempuan dan dibuat berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Karena sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang bertakwa. Ini Qur’an yang bilang, bukan saya. Banyak sekali di Qur’an yang seperti begini. Oleh karena itu, saya pikir, kalau ada orang tidak mau mengerti orang lain berarti dia tidak mengerti Islam. Itu kalau orang muslim. Saya rasa agama lain juga demikian.

Penghormatan itu tidak boleh tanggung-tanggung. Harus tuntas. Pernah pada satu ketika orang-orang Katolik itu menganggap orang lain bersalah. Kebenaran satu-satunya adalah yang diajarkan Paus. Konsili Vatikan II–tahun 1962 sampai 1965 di bawah pimpinan Paus Yohanes XXIII–itu menyatakan, “Kami para uskup yang berkumpul di Vatikan berusaha untuk mewujudkan kebenaran abadi. Ini berarti menghormati agama-agama yang ada. Walaupun kami yakin, kebenaran yang mutlak berada di tangan gereja Katolik Roma.” Itu urusan dia. Kalau dia tidak merasa benar, untuk apa beragama. Tiap orang merasakan kebenarannya. Tetapi. di dalam merasakan kebenaran itu dia menghormati hak orang lain untuk mencari kebenaran. Ini harus kita pahami. Sikap seperti ini yang penting.

Menurut saya. dalam hal ini harus ada ketulusan. Ketulusan untuk menghormati dan mengakui hak-hak orang lain dalam mencapai kebenaran dengan cara yang sudah diyakininya. Ini penting sekali. Karena, tanpa ini, sia-sialah kita berusaha untuk mencari saling pengertian. Dan, tanpa saling pengertian, tidak mencapai kebenaran. Tiap ajaran kitab suci mana pun selalu mengajarkan bahwa kebenaran itu artinya menghormati orang lain.

Jadi, dengan demikian menjadi jelas bahwa kita ini hidup di dalam suasana yang pluralistik, yang beragam. Seringkali ada kesulitan. Ketika kita mencoba menerapkan dalam kehidupan, agama memberikan jawaban yang seragam, sedangkan masalahnya beragam atau pendekatan masalah itu beragam. Inilah seninya. Artinya, diantara kedua hal–kebenaran A dengan kebenaran B–itulah letak dari spektrum yang harus kita hayati dan sadari. Tanpa ini, maka kita akan menjadi orang yang selalu mengajukan klaim kebenaran bagi diri kita. Menurut pemerintahan yang lalu. itu dialog antaragama. Masing-masing berpegang pada kebenarannya. Saya menganggap itu bukan dialog, tapi serimonolog. Tiap orang jualan kecap: agama saya nomor satu. Kalau ini yang terjadi, kita tidak akan mencapai apa-apa. Habis-habisin duit saja.

Inti dari masalahnya adalah kita harus beragam. Karena, kebetulan masyarakat kita juga sangat beragam pula. Sistem-sistem budaya yang ada–kalau kita menganut paham budaya itu merupakan corak hidup dari suatu kaum, termasuk agamanya. Kita. paling tidak menurut LIPI–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia–mempunyai 14 sistem budaya daerah mulai Aceh sampai Ngadak di Flores Timur. Ke-14 sistem budaya daerah itu mengahruskan kita untuk memberlakukan keberagaman. bukan keseragaman. Umpamanya saja dalam aplikasi kehidupan. Gubernur Sumatra Barat mengatakan kepada saya bahwa “Apa kita masih terus menjalankan pemerintahan desa, pak? Padahal di tempat kami sudah tidak demikian.” Saya jawab. Tidak dong. Kita pakai konsep Nagari untuk Sumatra Barat karena hidupnya masyarakat Sumatra Barat, itu dengan menggunakan pola Nagari. Lurah itu, kan Jawa yang dipaksakan atas orang Sumatra Barat.”

Karena itu, kita harus paham bahwa keberagaman itu merupakan kekayaan bagi kita semua. Perbedaan para pemimpin merupakan rahmat bagi kaum, bagi umat. Orang Islam sendiri suka lupa bahwa nabinya yang bilang begitu. Tetapi mereka lupa pada ajaran nabi. Itu kan anehnya di situ. Karena ambisi-ambisi pribadi, atau kalau sekarang karena uang.

Itulah yang dikatakan conditio sine quanon. Bahwa kita harus memahami betul perbedaan-perbedaan tersebut sebagai rahmat. Tanpa bersikap demikian, maka kita akan mempunyai sikap menang sendiri. Sebagai akibatnya, kita justru memecah belah persatuan dan kesatuan nasional bangsa kita. Padahal, yang paling sering melanggar yang begitu itu adalah orang yang mengklaim “Kita itu berbeda satu sama lain dan kita harus menjaga keutuhan kita sebagai bangsa”.

Forum ini untuk menyadari betul hal itu. Dengan sikap menghargai keberagaman dan membuang jauh-jauh keinginan untuk menang sendiri, maka kita akan lebih memahami masalah-masalah yang dihadapi bangsa kita dewasa ini.

Analisa terakhir. peranan agama adalah memahami keadaan-keadaan sekarang dan mencarikan jawaban-jawaban atas permasalahan yang ada. Inilah yang harus kita renungkan. Sebuah keadaan di mana klaim-kalim diajukan tentang kebenaran. Klaim ini tidak berbeda jauh, tetapi cara memahaminya keliru. Seperti misalnya, tentang HAM. Al-qur’an mengajukan sebuah wawasan, “Hari ini telah Kusempurnakan nikmatku untuk kamu. Kemudian telah Kurelakan bagimu Islam sebagai agamamu.” Itu Qur’an yang mengatakan. Di dalamnya sama sekali tidak ada anggapan merendahkan agama lain. Kan berbicara tentang Islam. Lalu. Islam ini menjadi bagian dari pengalaman kemanusiaan kita. Tetapi, itu tak jarang dipakai untuk menggempur kepercayaan atau keyakinan lain. Ini salahnya di situ, Salah memanfaatkannya. Bukan kata-katanya. Sebab, kalau yang mengerti betul kata-kata tadi, itu bahwa prinsip “Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian artinya agama kalian itu mempunyai prinsip-prinsip untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Karena itu maka “telah Kuberikan nikmat kepada kalian. Dan, karena dapat nikmat seperti itu “Kurelakanlah Islam bagi agama kalian. Sama sekali tidak ada penghinaan atau menganggap rendah agama lain. Dengan kata lain, tiap orang boleh mencari kebenarannya sendiri-sendiri. Qur’an sendiri yang mengakui demikian. Ini seringkali salah jalan.

Al-Qur’an itu ungkapan yang paling sederhana Lakumdinukum waliyadin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Itu kan sudah jelas. Ini kan pengakuan. Pengakuan bahwa tiap agama boleh hidup dan harus saling hormat-menghormati: harus sanggup hidup berdampingan secara damai; berunding mengenai apa yang menjadi masalah-masalah kita bersama. Kemudian, atas dasar itu kita mencoba untuk memperbaiki kehidupan yang kita tuntut selama ini.

*****

Mangku Trisno (Purworejo):

Pertama, kini banyak generasi muda yang tak lagi peduli dengan nilai-nilai 45. Padahal nilai-nilai ’45 itu amat penting. Untuk itu, mohon supaya ada upaya-upaya melestarikan nilai-nilai 45 tersebut melalui pendidikan budi pekerti misalnya. Kedua, tentang pembangunan rumah-rumah ibadah. Mestinya begini, semua pembangunan rumah-rumah ibadah, tidak pandang dari agama apa pun, cukup dengan IMB Asal sudah ada IMB cukup, wong itu tempat untuk menyembah Tuhan. Hanya untuk ronda saja tidak ada masalah, apalagi untuk menyembah Tuhan. Kalau dalam masa kepresidenan Bapak ini bisa dituangkan satu peraturan yang mencakup semua rumah ibadah dari segala pemeluk agama tanpa ijin, tetapi ada IMB, saya kira itu sudah cukup bagus. Terima kasih.

Gus Dur:

Terima kasih. Ini tentang nilai-nilai 45. Itu, saya rasa, kalau dituangkan dalam budi pekerti dan lain-lain. bisa-bisa saja. Tapi, negara itu sebenarnya tidak usah banyak campur tangan. Didiklah anak-anak Itu Kalau kita sendiri menganggap bahwa pendidikan agama itu dilakukan masyarakat, tapi kita minta pemerintah menetapkan begini-begitu, ini yang berkebalikan. Apalagi mahasiswa-mahasiswa kita memang sudah tidak mau nilai-nilai ‘45. maunya nilai-nilai ‘89. Jadi. dengan kata lain, biarlah masyarakat membutuhkan pendidikan budi pekerti itu. Jangan serahkan kepada pemerintah. Biar pemerintah sekali-sekali meniru.

Kemudian yang kedua, mengenai masalah ijin tadi. IMB. Saya rasa itu pikiran yang baik. Memang harusnya begitu. Ijin itu dikeluarkan hanya untuk soal-soal teknis, tidak mengenai masalah prinsip Itu yang dipegangi pemerintah sekarang. Departemen Penerangan saya bubarkan, karena Departemen Penerangan mau mengurusi sampai sekecil-kecilnya, coco*k atau tidaknya politik kita. Masyarakat sudah dewasa, kok dianggap seperti anak kecil saja. Kemarin dalam sidang kabinet, menteri Perhubungan mengatakan, ada suatu aturan di mana penerangan nanti jalannya begini-begini-begini. Saya jawab, boleh saja kalau teknis ngaturnya. Artinya, frekuensi radio penyiaran itu, sekian frekuensi dipakai si A. si B. Itu boleh, soal teknis diatur negara. Tapi kalau sudah policy-nya mengenai pemberitaan, harus kita pelihara sekuat-kuatnya. Oke, ini proses edukasi. Termasuk persnya sendiri harus belajar. Sebab sekarang banyak pers itu bohong-bohong pun dimuat. Susah itu. Saya sendiri kemarin diributkan. Katanya saya mau mundur bulan September. Saya tidak pernah ngomong apa-apa. bisa-bisanya nulis September itu dari mana? Yang tahu itu cuma “Agustus-September, layangan putus diuber-uber. Lalu, tugas pemerintah itu hanya menolong, mendidik. Artinya, memberikan sarana mendidik diri sendiri bagi insan pers. Tidak lebih dari itu. Sekarang memang harus lebih bersabar. Masak kita mau marah kepada pers? Kecuali kalau sudah sangat keterlaluan: bohong-bohong melulu untuk menjatuhkan orang. Itu tidak boleh. Tuntut saja ke pengadilan, sebagai bagian dari proses pendidikan juga. Bahwa tugas dari masyarakat itu adalah tugas untuk mengatur diri sendiri. Jangan biarkan diri kita diatur oleh pemerintah. Ini penting sekali.

Pdt. Sri Handoko:

Bapak presiden Gus Dur yang kami hormati dan kami kasihi. Perkenankan saya mengajukan dua pertanyaan. Nama saya Pdt. Sri Handoko Sebagai pendeta, saya mendapat tugas khusus untuk mengamati, mencermati perkembangan sosial politik. Pertanyaan yang pertama, meyangkut upaya menjaga keutuhan bangsa. Sedangkan pertanyaan yang kedua, itu menyangkut posisi agama dengan penguasa.

Kita pada saat ini sedang berada dalam keadaan bangsa dan negara yang menghadapi ancaman disintegrasi, baik disintegrasi sosial maupun disintegrasi nasional. Hal yang menjadi sangat penting, dalam hal ini, adalah bagaimana menjaga keutuhan bangsa, yang pada jaman Orde Baru yang lalu itu terkenal denga jargon persatuan dan kesatuan. Saya kira keutuhan itu menjadi sangat penting. Dalam perjalanan sejarah, dulu kerajaan Sriwijaya mencoba mempersatukan nusantara dengan kekerasan. Kemudian jaman Majapahit, juga mencoba mempersatukan nusantara denga kekerasan dan berhasil. Lalu, pada jaman kemerdekaan Indonesia itu bersatu karena ditekan dengan kekerasan dari luar, yaitu penjajahan. Lalu, sesudah Indonesia merdeka, apakah kita juga akan menjaga keutuhan Indonesia dengan kekerasan? Saya pikir bukan itu. Harus ada sesuatu yang lain. Tidak bersifat fisik, tetapi lebih bersifat esensial. Tentunya bukan agama. karena agama itu berbagai macam. Pertanyaan saya, menurut bapak Presiden hal atau unsur apakah yang paling tepat untuk mempersatukan Indonesia ini? Itu pertanyaan pertama.

Pertanyaan kedua, mengenai hubungan antara agama dengan kekuasaan. Dalam sejarah, pernah terjadi agama menguasai kekuasaan, pada jaman abad pertengahan di Eropa misalnya. Semua penguasa ada di bawah kekuasaan gereja. Kemudian pada jaman era Indonesia merdeka, saya kira pernah terjadi dan beberapa kali. Sering terjadi juga agama dikuasai oleh penguasa dan dipolitisir menjadi alat kekuasaan. Pada jaman Tuhan Yesus. agama dan kekuasaan bekerja sama untuk melawan Tuhan Yesus. Walapun tadi Bapak sudah menyinggung sedikit, kira-kira pada era pemerintahan Bapak sekarang ini, sebaiknya agama dan kekuasaan itu berada dalam posisi yang bagaimana? Terima kasih.

Gus Dur:

Sebenarnya bangsa kita merdeka itu tanpa kekerasan. Walaupun, untuk mepertahankan kemerdekaan itu dengan kekerasan. karena diserang. Adanya proklamasi itu tanpa kekerasan. kecuali Kapten Latief yang membawa pistol, yang lainnya biasa-biasa saja.

Kemudian, kekuasaan dengan agama. Itu saya selalu beranggapan bahwa agama dalam kaitannya dengan pemerintah. jangan diaduk-aduk. Harus lepas dari pemerintah. Karena agama ini tanpa kekerasan, sedangkan pemerintah tidak bisa berdiri tanpa ketundukan kepada undang-undang, artinya kekerasan. Ini harus bisa dibedakan betul. Karena itu, kemerdekaan itu bentuknya adalah kesadaran. Kesadaran bahwa bangsa kita ini beragam-ragam tetapi punya kepentingan yang sama. Ini Pak. Bukan kekerasannya ansich.

Saya setuju. Ada yang Anda tadi tidak sebut, yaitu Mataram. Kerajaan Mataram, yang sangat agraris ini. sangat curiga kepada negara-negara di pinggir laut, yang mempunyai–katakanlah—tradisi sendiri. Jepara, Cirebon, Tuban, Surabaya, Demak. Semua yang di pesisir itu dianggap lawan atau saingan yang berbahaya. Karena itu. ditiadakanlah kekuasaan mereka. Ini pangkal mula upaya untuk memanfaatkan pemerintah bagi kepentingan kekuasaan dan itu terus sampai ke abad kita.

Salah satu dongeng–yang istilahnya meresap di hati– adalah dongeng pastur di gereja, yang rumahnya di belakang gereja. Suatu malam dia bekerja Kemudian ada orang masuk. Tetapi sebentar kemudian ternyata orang itu sudah tak ada. Langsung si pastur ini mengangkat rosarionya, karena ada salibnya. Tetapi, drakula terus menuju ke arah dia. Karena ketakutan kalau diisap darahnya, pastur ini keluar. Drakulanya nguber dari belakang, keliling-keliling halaman gereja. Sampai akhirnya, karena masih diikuti terus, masuklah pastur itu ke altar gereja. Di altar ada salib yang gedhe sekali Dia cabut dengan berkeringat-keringat. Langsung dicabut, lalu disodorkan kepada drakula itu. Drakula menjawab. “Nggak takut, saya sudah masuk ICMI. Moral dari cerita ini adalah bahwa jangan sampai agama itu dipakai, dikaitkan dengan kekuasaan. Itu saja intinya.

Kalau agama dipakai sebagai kekuasaan, hasilnya akan parah bagi kita semua. Kalau pada akhir pemerintahan saya agama bisa renggang dari negara, itu bagus. Walaupun saya sadar bahwa hal itu mungkin tidak akan tercapai dalam umur saya. Gampangannya. negara lain tidak ada departemen agamanya, sedangkan kita ada. Mestinya negara tidak usah ikut campur dalam soal agama. Tapi, kalau kita hilangkan sekarang, bisa ribut di daerah-daerah. Termasuk orang Kristen sendiri, geger. Jadi, kita harus hati-hati.

Departemen agama itu tidak boleh menjadi alat pemerintah untuk menguasai agama-agama. Tetapi sebaliknya, alat agama-agama untuk menjelaskan–apa itu, katakanlah– acuan-acuan agama yang kita sepakati. Ini sudah saya mulai. Contohnya, saya sudah katakan kepada menteri agama, “Awasi, Istiqlal itu biar berdiri sendiri. Majelis ulama bukan majelis ulamanya departemen agama. Tidak ada di Undang Undang Dasar. Majelis ulama itu harus berdiri sendiri. Itu harus konsekuen. Artinya, untuk menolong orang-orang yang melarat, beri saja dana abadi di situ. Jangan saben saben ngributin departemen agama terus.

Bahkan lebih dari itu. Saya katakan kepada menteri agama. “Itu yang namanya peradilan agama harus dikembalikan ke Mahkamah Agung di satu pihak, di pihak lain kepada Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Lalu, pendidikan harus juga dilepaskan dari agama, dimasukkan ke Diknas.” Karena itu, saya tidak pernah menggunakan istilah Dikbud. Karena, kebudayaan itu urusan masyarakat. bukan urusan pemerintah. Jadi, itu sudah dimulai. Sedikit-sedikit dikikis. Istilanya sedikit-sedikit menjadi bukitlah. Ini yang kita jalankan. Mudah-mudahan segera terwujud suatu pemerintahan yang agama lepas dari negara sama sekali. Kewajiban agama adalah mendukung dan menunjang, kalau perlu memberi bantuan. Tapi policy nya, letakkan sendiri di kalangan agama. Jangan di kalangan pemerintah. Ini paling susah. Karena, selama ini majelis ulama itu sangat bergantung kepada pemerintah Akhirnya, karena pemerintahannya itu di jaman lalu kurang ajar. akibatnya orang yang bukan ulama pun bisa menjadi anggota majelis ulama. Oleh karena itu. pertanyaan tadi itu ada benarnya.

Dewi Mariam (Salatiga):

Kepada Bapak Presiden yang kami hormati. nama saya Dewi Mariam dari Forum Salatiga. Yang ingin saya tanyakan, tentang konsep PP 10 bagi pegawai negeri. Itu melarang pegawai negeri mempunyai isteri lebih dari satu. Undang-undang itu saya kira sudah tidak sesuai lagi. Tuhan sendiri membolehkan untuk berpoligami, tapi manusia sendiri melarang untuk berpoligami (Interupsi Gus Dur: Kata Pak Surjadi. ini yang mesti menjawab ibu. Kan boleh urun rembug, ya?). Belum selesai Gus. Karena, kalau kita melihat dari dataran riil yang ada, itu merupakan salah satu sebab terjadinya banyak prostitusi dan perselingkuhan. Sehingga, adanya PP 10 bagi pegawai negeri perlu ditinjau kembali. Terima kasih.

Gus Dur:

Di sini ada dua hal yang overlaping. tumpang tindih. Di satu pihak proses pembentukan peraturan undang-undang dan sebagainya, di pihak lain itu hakikat dari agama. Kita harus jelas. Dulu sewaktu mau diadakan atau mau diundangkan UU no. 1 tahun 1974, waktu itu dikatakan kepada saya oleh seorang dari CSIS bahwa secara universal orang itu takdirnya bersuami satu beristri satu. Itu ngomong sama saya. Saya jawab, yang universal itu apanya? Sejarahnya? Sejarah di mana-mana orang isterinya dua. Apa Cina. apa India, apa Inca. Yahudi pun begitu. Rabi-rabi tua itu–kalau dibaca Injil itu– isterinya dua. Kebetulan orang barat bersikap monogami, karena itu dianggap universal. Jadi, ini kita menerapkan ajaran orang barat yang partikular. Itu kita sebut universal. Ini kesalahan. Bukan menerapkannya, tapi menyebutnya yang salah. Ini dari satu sudut.

Sudut lain, mengenai proses pembentukan suatu peraturan atau undang-undang. Kita kembali dulu ke ajaran agama. Ajaran agama itu apa to? Ajaran agama, itu sesuatu ajaran yang kita pahami. Bukan karena ajaran itu sendiri, tapi kita pahami. Seperti saya katakan tadi. Konsili Vatikan II itu paham para Uskup jaman sekarang. Kalau dulu, mereka menganggap bahwa orang selain Kristiani itu dianggap salah semua. Itu pemahaman agama jaman itu. Sekarang berubah. Ini juga berlaku untuk semua agama. termasuk untuk Islam. Pemahaman itu penting.

Tadi saya pidato di Gedangan sana. mengenai masalah pemahaman ini. Saya memahami ajaran agama saya itu. Teori hukum mengatakan bahwa hukum itu sesuai dengan sebabnya. baik ada atau tidaknya hukum. Mbak Mega itu menang. sebab itu ya dia pantas jadi presiden. Itu kan karena aplikasi dari sebuah prinsip yang kita yakini. Sebaliknya. Mas Amin Rais. Menurut dia menghilangkan kerusakan diutamakan dari membawa kebaikan. Menurut dia, kalau presidennya bukan saya, ribut negara ini. Bertentangan satu sama lain. Itu kan harus dihilangkan. Ini dua-duanya menggunakan prinsip-prinsip agama yang diterapkan pada keadaan. Hasilnya berbeda.

Jadi, kalau Anda menganggap bahwa agama membolehkan orang beristri lebih satu, kapan? Sekarang lain. Ibu menganggap bahwa Al-Qur’an mengatakan pria boleh kawin lebih dari satu. Boleh dua, tiga atau empat. Saya berpegang pada kata-kata setelah itu “kalau tidak bisa adil cukup satu.” Siapa yang menentukan keadilan? Dulu adalah pria. Kalau pria, isteri berapa saja juga adil. Ya wanitanya dong. Yang menjadi obyek dari tindakan tersebut. Ketika merumuskan hukumnya. kan begitu. Tanya, wanita mana yang mau dimadu. Saya rasa, mayoritas wanita tidak mau. Ini saja sudah menunjukkan bahwa PP 10 itu wajar-wajar saja. Tergantung dari bagaimana kita memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an.

Ini ada lagi penafsiran, supaya ngerti persis KB “Kawinlah kalian berbanyak-banyak anaklah agar Aku dapat berbangga dengan kalian di hari akhirat kelak” Dulu berbanyak-banyak itu kuantitatif, asal banyak saja. Sekarang tidak. Banyak, kalau tidak berpendidikan, kalau hidupnya tidak karu-karuan? Karena itu, lebih baik sedikit dari pada tidak berpendidikan. Jadi ada perbedaan penafsiran, dan itu sah-sah saja. Agama kita sudah mengajarkan demikian. Boleh ada perbedaan penafsiran “Perbedaan pendapat di kalangan para imam, para pimpinan adalah rahmat bagi umat yang dipimpin” Mana mungkin ada perbedaan pandangan kalau tidak ada perbedaan penafsiran?

Jadi, dengan demikian, saya berpendapat bahwa PP 10 itu sudah bagian dari upaya memahami Kalau Anda tidak terima, tunjukkan pada bangsa ini bahwa diperlukan adanya penafsiran kembali. Tidak dengan menganggap bahwa yang ada itu salah. Penafsiran bukan soal kalah menangnya, bukan salah benarnya, tapi, adalah apa yang kita anggap terbaik. Kata-kata PP 10 itu artinya yang terbaik itu adalah Anda jangan kawin lebih dari satu, bagi pegawai negeri. Yang tidak pegawai negeri belum tercover. Jadi, masih ada kesempatan bagi Bapak-Bapak.

Ibu Shinta Nuriah:

Pada para hadirin semua, saya ikut-ikutan menjawab. Karena saya begitu tertarik dengan pertanyaan tersebut, jadi saya ikut-ikutan urun rembug mengenai PP 10. Menurut saya, ada PP 10 atau tidak ada PP 10 sebetulnya tidak masalah. Karena itu semua tergantung dari laki-lakinya. Sekali pun tidak ada PP 10, tapi kalau para laki-laki itu sudah menyadari bahwa yang sedemikian itu, apa sih gunanya, artinya? Saya kira tidak akan terjadi apa-apa. Tetapi, kalau pun ada PP 10 namun para prianya tidak mempunyai kesadaran tentang hal itu, pasti akan terjadi apakah itu perselingkungan atau penyelewengan dan sebagainya. Jadi, semuanya itu tidak bergantung kepada PP 10.

Pernah datang seorang sarjana perempuan dari Perancis kepada saya, yaitu bernama Dr. Andre Veilard. Dia mengatakan. “Ibu, kalau laki-laki berselingkuh, itu masih diharapkan dia akan tobat dan kembali kepada keluarganya. Tapi, kalau laki-laki itu menikah lagi. ini adalah neraka seumur hidup buat perempuan yang pertama. karena perempuan kedua akan berada di samping suaminya selama-lamanya selama dengan dia. Sekarang terserah kepada Anda. mau pilih neraka seumur hidup atau neraka apa?

Gus Dur:

Saya tambahi. Ada seorang tukang potong kayu. Tiap hari ia dapat kerjaan. Isterinya empat. Kalau isteri satu lagi merah, itu neraka Pak. Kalau dua, itu derita Pak Karena kalau lagi dicurigai isteri pertama, itu bagaimana? Nanti juga dicurigai oleh isteri kedua. Jadi, itu namanya menderita. Yang isteri ketiga itu neraka. karena saling curiga mencurigai, nggak karu-karuan. Akhirnya, kita kayak neraka. lari sana-lari sini. Yang keempat Pak. baru sorga loka.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Pradjarta dan yang lain-lain. karena pada hari ini bisa berdialog Mudah-mudahan ada hasilnya dan seminar yang diadakan pada hari ini juga mencapai hasil yang baik. Tolong nanti paper-paper yang ada mbok saya dikasih. Biasanya orang suka lupa ini. Akan lebih baik lagi apabila yang saya omongin juga ditranskrip, saya dikasih. Jadi saya punya simpanan Karena. tidak selama-lamanya saya menjadi presiden. Bertentangan dengan nurani saya dan sesuai dengan undang-undang dan Tap MPR, dua kali paling banyak. Menurut saya. kalau bisa sekali saja.

Samuel Soeharto:

Bapak presiden yang kami hormati, nama saya Samuel Soeharto dari Forum Komunikasi Sekolah Sekolah Kristiani di DIY. Kami mohon ada langkah dari bapak, penekanan dari Kakanwil kami untuk memaksakan pendidikan agama di sekolah berciri khas dengan pelajaran semua agama yang ada, hingga itu menghilangkan ciri khas kami. Hingga sekarang persoalan belum selesai. meskipun yayasan sudah berdialog tetapi hanya mau berdialog kalau soal teknis. Untuk itu kami mohon dengan perlindungan dari SKB Menteri Agama dan Mendikbud No. 570 dan empat tanggal 8 Oktober 1999 yang kemudian dijabarkan oleh Kakanwil kami dengan paksaan itu sehingga kami kesulitan melaksanakan. Lebih-lebih besok hari Senin. EBTA Agama itu harus sudah dilaksanakan, padahal kesepakatan belum ada, dan itu meresahkan kami penyelenggara Sekolah-Sekolah Kristiani di DIY. Kami sebenarnya pengin mencari jalan keluar, sudah ke Menteri tetapi tetap belum juga ada penyelesaian.

Sekian terima kasih.

Gus Dur:

Terima kasih. Karena saya menganut paham pemisahan agama dengan negara maka saya berpandangan bahwa penafsiran pemerintah atas agama, dan dalam hal ini pendidikan agama juga salah. Karena itu cara yang gampang adalah berkirim surat kepada saya, kemudian nanti saya buat disposisi. begini-begini-begini arap laksanakan, sudah. Terus terang begitu banyak masalah yang saya hadapi sehingga kalau tidak pakai cara begini nanti bisa lupa. Dan sebelum itu saya ingin sampaikan. kalau tadi dikatakan sebagai soal elite, memang betul. Tapi apa yang terjadi di tingkat elite punya dampak ke bawah. Buktinya soal pendidikan ini dampaknya sampai ke bawah. Kalau perdebatannya di kalangan elite, tapi kalau masyarakat masa bodoh, saya tahu persis, karena kalau saya kemana-mana walaupun krisis dibilang banyak orang, di mana-mana rakyat gembira-gembira saja karena sudah menyerahkan kepada elite, itu bukan salah kita kok.

Yudo Purwowidagdo:

Bapak presiden dan bapak ibu yang saya hormati, nama saya Yudo Purwowidagdo dari Duta Wacana.

Keadaan masyarakat bangsa kita yang akhir-akhir ini mengalami banyak konflik, baik konflik horisontal maupun vertikal yang tentunya memprihatinkan kita semua, dan saya tahu persis bapak Presiden sangat prihatin dalam hal ini. Bapak sebagai orang yang beriman dengan penuh kasih dan cara kemanusiaan dengan segala cara mengusahakan sebuah rekonsiliasi di kalangan masyarakat kita yang sedang berkonflik ini. Juga saya memahami usaha bapak beberapa waktu lalu ke Afrika Selatan, di samping bertemu dengan presiden di sana juga mungkin mencari tahu Reconsiliation Commission berjalan di sana.

Pertanyaan saya, bagaimana kelanjutan kira-kira upaya yang bapak lakukan selama ini agar juga para tokoh umat beragama yang berkumpul di sini dapat berpartisipasi secara aktif dan positif di dalam usaha mengembangkan suatu usaha rekonsiliasi di tengah-tengah masyarakat ini dengan apa dengan apa yang selalu saya respek, saya hormati bapak selalu mendasarkan pada kasih dan kemanusiaan tanpa melupakan keadilan dan kebenaran. Kami sangat mengharapkan ada tindak lanjut, mungkinkah kita belajar banyak dari saudara-saudara kita di Afrika Selatan, meskipun tidak persis sama mengebangkan terus Reconsiliation Commission itu tapi yang juga menyesuaikan keadaan yang ada di Indonesia. Jadi yang bagaimana kami dapat berpartisipasi di dalam hal ini dan bagaimana rencana bapak melaksanakan langkah selanjutnya. Terima kasih

Gus Dur:

Memang sebelum kepresidenan, saya mempunyai gagasan membuat sebuah komisi pencarian fakta dan rekonsiliasi nasional. Bahkan saya sudah berkirim surat kepada para penasehat internasionalnya. diantaranya Nelson Mandela. Jimmy Carter. Aria Sanchez. Nobomatsunaga, Waslaf Hafel, Bob Widlem. Hamani Qoriah dari Sri Langka, Lee Kuan Yew. Hana Asrawi. Simon Perez dari Timur Tengah ditambah beberapa orang dari 25 orang-orang dalam negeri sebagai anggota saya calonkan. sudah ada yang menjawab tujuh. Tapi saya bertemu dengan pak Habibie. Dia bilang, gimana saudara masalah itu? saya terangkan apa adanya. Jangan bikin dulu setelah sidang umum MPR, sebab ini nambahi keruhnya suasana. Ya. silakan pak. Setelah sidang umum MPR. saya mau mulai lagi dalam sidang kabinet ternyata Sdr. Marzuki Darusman, Yusril Mahendra dan Hasballah Saad. menyatakan sedang mempelajari hal itu seperti model Afrika Selatan seperti yang bapak kemukakan. Kalau saya dulu modelnya Korea Selatan, artinya swasta. Ini yang bertikai pemerintah. karena saya sedang sibuk dengan ekonomi. disintegrasi bangsa lalu saya lepas, silakan. Konsekuensinya karena saya sudah di pemerintahan nanti saya sudah nggak boleh ikut-ikut campur. Itu saya serahkan kepada sebuah lembaga yang mereka tunjuk sebanyak tiga orang, nanti saya tinggal menerima matengnya saja. Saya tidak tahu siapa-siapa yang akan menjadi anggota, mudah-mudahan dalam sebulan ini sudah beres. Saya setuju dengan anda bahwa masalah ini harus tuntas, karena apa? kalau yang perlu ditangani secara undang-undang, harus dituntut di pengadilan, tapi kalau yang sulit dibuktikan tetapi sudah terjadi seperti DOM di Aceh. maka itu perlu direkonsiliasikan. Jadi begitu situasinya pada saat ini, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama lagi kerangka yang akan mereka buat akan segera terwujud. Cuma harus realistis, saya dengan Marzuki Darusman, Yusril pekerjaannya begitu banyak. karena kehancurannya juga begitu banyak. Karenanya harap bersabarlah kepada bapak kita ini, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama akan terpenuhi. Terima kasih. Saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Pradjarta dan yang lain-lain, karena pada hari ini bisa berdialog. Mudah-mudahan ada hasilnya dan seminar yang diadakan pada hari ini juga mencapai hasil yang baik. Tolong nanti paper-paper yang ada mbok saya dikasih. Biasanya orang suka lupa ini. Akan lebih baik lagi apabila yang saya omongin juga ditranskrip, saya dikasih. Jadi, saya punya simpanan. Karena. tidak selama-lamanya saya menjadi presiden. Bertentangan dengan nurani saya dan sesuai dengan undang-undang dan Tap MPR, dua kali paling banyak. Menurut saya. kalau bisa sekali saja.

Dr. Pradjarta (Moderator):

Hadirin yang kami hormati, sekali pun saya yakin kita semua ingin melanjutkan dialog pada siang hari ini bersama Gus Dur, namun kendala waktu memaksa kita untuk mengakhiri dialog ini. Karena acara siang ini adalah dialog, bukan suatu forum untuk mencari kesepakatan, maka saya sebagai moderator tidak hendak menyimpulkan sesuatu. Biarlah butir-butir pemikiran yang muncul dalam dialog siang ini dapat kita gumuli lebih lanjut. Mudah-mudahan menjadi sumbangan bagi terciptanya wacana baru. yang menopang sumbangan agama-agama secara lebih berati terhadap proses transformasi sosial, ekonomi dan politik di era Indonesia baru ini.

Akhirnya, sebagai moderator yang sekaligus juga sebagai ketua panitia pengarah, atas nama Komunitas Lintas Agama dan semua yang hadir dalam seminar sehari ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Gus Dur beserta ibu serta rombongan untuk acara siang ini. Selamat jalan, selamat bertugas, kiranya berkat Tuhan menyertai kita semua. Terima kasih.

90 Menit Bersama Gus Dur: "Sumbangan Agama-Agama dalam Menopang Transformasi Sosial, Ekonomi dan Politik Indonesia" - GusDur.Net (2024)
Top Articles
Latest Posts
Article information

Author: Roderick King

Last Updated:

Views: 5581

Rating: 4 / 5 (51 voted)

Reviews: 82% of readers found this page helpful

Author information

Name: Roderick King

Birthday: 1997-10-09

Address: 3782 Madge Knoll, East Dudley, MA 63913

Phone: +2521695290067

Job: Customer Sales Coordinator

Hobby: Gunsmithing, Embroidery, Parkour, Kitesurfing, Rock climbing, Sand art, Beekeeping

Introduction: My name is Roderick King, I am a cute, splendid, excited, perfect, gentle, funny, vivacious person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.